Dr. Dedy W. Sanusi

Mengembalikan Islam ke Jantung Kehidupan

f-q-h

leave a comment »

Dalam Bahasa Arab,  memahami agama disebut dengan istilah faqiha (f-q-h). Orang yang sedang belajar memahami disebut mutafaqqih. Aktivitasnya disebut tafaqquh. Orang yang sudah paham disebut faqih.

Menurut Dr. Hassan Turabi, tiga huruf ini: fa-qaf-ha- (fa-qi-ha), pengucapannya (prononsiasinya dalam Bahasa Arab) dimulai dari ujung bibir (fa), bergerak ke pangkal tenggorokan (qi) dan berakhir di rongga dada (ha). Pergerakannya dari pinggir ke dalam.

Artinya, tidak cukup hanya paham, namun fiqh berarti pemahaman yang mendalam.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi baik, maka ia diberi pemahaman yang mendalam (yufaqqihhu) tentang agama”.

Pemahaman yang mendalam semacam inilah yang menjadi jaminan agama tetap menjadi sumber kebaikan bagi umat manusia di segala ruang dan waktu.

Written by Dedy W Sanusi

23/09/2009 at 23:53

Ditulis dalam ide

Kehilangan Ruh

leave a comment »

Peradaban Islam kehilangan ruh. Umat Islam hadir secaraa fisik, tapi gaib secara kontribusi. Ruh itulah yang mesti dihadirkan ulang, jika umat Islam hendak memberi kontribusi besar mendesain dunia.

Dr. Muhammad Imarah dalam bukunya: fi fiqh al-hadlarah al-Islamiah, mengutip pendapat Syekh Fadlil Bin Asyur dalam bukunya: ruh al-hadlarah al-Islamiah, menegaskan pentingnya umat Islam kembali ke spirit peradaban Islam. Spirit yang dimaksud adalah keyakinan agama yang menggugah dan menggerakkan.

Spirit yang pernah menjadi motor generasi awal umat Islam membuat tata dunia dalam waktu kurang dari seabad. Ketika itu, wilayah Islam membentang dari Indonesia sampai Andalucia. Inilah, menurut Dr. Imarah, yang dimaksud dengan ungkapan Imam Malik Bin Anas: lan yashluh akhir hadzihi al-ummat illa bima shaluha bihi awwaluha: Umat Islam generasi akhir hanya akan menjadi baik dengan apa yang membuat generasi awalnya baik.

Written by Dedy W Sanusi

17/09/2009 at 08:20

Ditulis dalam peradaban islam

Titik Pijak Baru

with one comment

Untuk menegaskan angle dan mempertajam visi, saya memilih slogan baru: Mengembalikan Islam ke Jantung Kehidupan. Semoga tidak sekedar terus menjadi slogan.

Maksud saya adalah mencoba mengeksplorasi gagasan untuk mengembalikan efektifitas Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang misalnya terus dihembuskan oleh pemikir dan ulama semacam: Dr. Ratib an-Nabulsi, Dr. Imaduddin Khalil, Dr. Taha Abdurrahman, Dr. Taha Jabir Ulwan, Hasyim Salih, Khalis Jalabi, Dr. Ali Al Wardi dan lain-lain.

Ajakan ini berangkat dari keharusan mendekati Islam tidak dari pintu ortodoksi, tetapi dari gelanggang kehidupan itu sendiri. Karena jika ini yang terus dipertahankan, Islam hanya akan terus menjauh dari denyut kehidupan.

Istilah Dr. Imaduddin Khalil, janganlah terus dikembangkan protipe tokoh agama yang dipakaikan surban, hanya betah di Mesjid, namun teralienasi dari kehidupan. Atau seperti anjuran Dr. Nabulsi, “saya ingin penyampai (da’iyah) Islam adalah para prefesional di kedokteran, teknis, ilmu pengetahuan, humaniora dst.

Saya yakin ini pintu yang memadai untuk mengulang kembali sumbangan Islam bagi kemanusiaan, sebagaimana yang dulu pernah disumbangkannya pada abad-abad awal kehadirannya.

Written by Dedy W Sanusi

06/04/2009 at 12:26

Ditulis dalam prolog

Harapan Kosong

leave a comment »

al-haqiqah al-murrah khairun alfa marrah min al wahm al-murih…

Kenyataan pahit jauh lebih lebih baik seribu kali daripada harapan kosong yang melenakan.

Bagi mereka yang pernah ditipu kehidupan, kata bijak ini ada baiknya jadi kaca benggala. Sebab  jauh lebih banyak orang memilih harapan kosong yang melenakan, ketimbang kenyataan hidup yang pahit.

Akibatnya, hidup terus menerus memunggungi realitas. Dan untuk itu, pembenaran rasional dibuat, kerangka berpikir diabadikan, elit negara dan agama yang lebih berpihak kepada orang-orang kaya ketimbang kepada rakyat jelata dimuliakan, negara yang kenyataannya —dimana-mana— oligarkis ditegakkan dan sistem nilai dan pendidikan dilestarikan.

Kebenaran menjadi hitam-putih; orang lemah selalu dikalahkan; keadilan hanya taat pada bukti-bukti formal; orang belajar mati-matian mencari ijazah setelah dapat ijazah, ia harus bekera menjadi anak buah orang-orang bodoh; anak-anak harus punya cita-cita; orang nyempal jadi terbuang; lebih gila mana seorang Socrates dengan masyarakat Yunani empat abad sebelum masehi?

Para motivator bilang; man jadda wajada, you can if you think you can. Pak SBY bilang: harus bisa. Pak JK  bilang; lebih boros dikit  lah di musim krisis keuangan seperti ini.

Padahal Kang Paijo seumur-seumur sangat bersungguh-sungguh menjadi tukang becak dan tidak berubah menjadi presiden becak seluruh Indonesia; Pak Slamet sangat sungguh-sungguh bekerja menjuang gorengan sampai mati di tiang gantungan yang dibuatnya sendiri karena harga minyak goreng yang melambung tinggi. Jutaan sarjana sungguh-sungguh belajar dan masih sungguh-sungguh menanti antrian pencari kerja yang masih sangat panjang.

Kita memang lebih senang diberi harapan kosong yang manis, ketimbang kenyataan hidup yang pahit. Sebentar lagi harapan-harapan itu akan semakin menumpuk di langit-langit ruang publik negeri kita. Dan kata Bang Haji Rhoma Irama, ‘yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin’.

Mungkin Kiai Haji Zainuddin MZ perlu mengulang berkali-kali lagi: ‘lebih baik makan singkong beneran, daripada makan roti mimpi!’.

Written by Dedy W Sanusi

03/01/2009 at 03:11

Ditulis dalam ide

Tagged with

Belajar Ikhlas

with one comment

Ikhlaslah 40 hari, kearifan akan mengalir dari bibirmu…

Hari ini, 1 Januari 2009, tahun politik mulai berputar di Indonesia. Para Caleg dan Capres/Cawapres dengan tim sukses masing-masing akan semakin sering berbicara di publik. Semakin dekat ke waktu pemungutan suara, janji-janji kampanye akan semakin berbusa-busa.

Apakah rakyat percaya? Belum tentu.

Janji-janji itu, atau sebutlah dengan nama apapun: platform, program pembangunan, visi-missi dan seterusnya, boleh jadi sangat rasional, dibuat oleh para pakar, secara akademis sangat berkilau, dengan angka-angka begitu rumit. Tapi, urusan percaya adalah urusan rasa, urusan hati, bukan terutama urusan akal rasional.

Tokoh-tokoh besar; boleh jadi sudah ribuan tahun meninggal dunia, tapi kata-katanya masih dipercaya hingga hari ini. Bangsa Indonesia masih percaya dengan Pancasila yang  dirumuskan oleh para pendiri bangsa dan –saya kira– akan terus dipercaya sampai ujung sejarah bangsa kita. Bangsa India masih percaya dengan prinsip dan kata-kata bijak Mahatma Gandi. Umat Islam tetap percaya dengan sabda Nabi SAW, hingga 1430 tahun lebih sejak beliau diutus.

Kata-kata itu dipercaya, menjadi abadi, karena keluar dari jiwa-jiwa yang ikhlas. Belajarlah ikhlas 40 hari, maka akan mengalir dari lisanmu, kata penuh hikmah yang meresap ke hati manusia, menggemburkannya dan menjadikannya ladang persemaian yang subur untuk segala tanaman. Buahnya akan terus dipetik, kapanpun, tak kenal masa.

Kita semua, mesti belajar ikhas.

Para politisi yang hendak meraih hati rakyat, belajarlah ikhlas, maka rakyat akan percaya dengan kata-katamu. Tidak usah banyak, Tidak usah berbusa-busa. Kalau anda ikhlas, bangsa Indonesia akan mengenang hasil karya anda, selama hayat dikandung badan. Karena ikhlas, baik untuk kita, baik untuk semua, kapanpun dan dimanapun.

Written by Dedy W Sanusi

01/01/2009 at 18:08

Ditulis dalam agama, politik

Revolusi Damai

leave a comment »

Kalau Indonesia mau membantu memerdekakan Palestina, maka bantulah demokratisasi negara-negara Arab.

Jalan keras sebenarnya adalah revolusi. Sebagian besar rezim berkuasa di negara-negara Arab saat ini, bukanlah penjasadan dari kehendak rakyat. Pepatah arab mengatakan: rakyat di satu lembah, dan rezim di lembah yang lain. Aspirasi mereka tidak satu, bahkan lebih sering bertubrukan.

Tapi jalan revolusi terlalu berbahaya. Akan banyak darah tumpah. Rezim-rezim ini tidak akan segan-segan menembak rakyat sendiri jika revolusi pecah.

Maka jalan satu-satunya adalah revolusi damai di kotak-kota suara. Demokrasi. Pemilihan umum langsung, jujur, adil dan tanpa intimidasi. Namun  jarak demokrasi dari negara-negara arab, barangkali, masih sejauh perjalanan tiga tahun kecepatan cahaya.

Tapi hanya inilah  jalan yang paling masuk akal, beradab, tapi tentu perlu kerja keras berkesinambungan. Dan manakala, rezim arab betul-betul perwujudan dari kehendak rakyat, Israel akan habis dengan sendirinya. Israel tidak akan mundur oleh kata-kata, kecaman atau gertakan dari siapapun.

Ia akan mundur oleh fakta kekuatan politik militer di lapangan. Indonesia bisa berperan di dua sisi. Meyakinkan Amerika dan sekutunya untuk menerima apapun hasil demokrasi di kawasan ini; dan membantu kekuatan pro demokrasi di negara-negara arab untuk punya nyali dan kapasitas yang lebih besar.

Meyakinkan Amerika sangat perlu karena mereka selama ini menggunakan standar ganda. Mereka harus dipaksa untuk konsisten terhadap nilai-nilai dasar mereka sendiri. Hamas menang dalam pemilu yang paling demokratis dalam sejarah Palestina, tapi karena mereka melawan Israel dan Amerika, Hamas harus dihabisi. Israel didukung Amerika melakukannya, kemarin, hari ini, besok dan seterusnya.

Sementara menyakinkan arab perlu kengototan yang lebih besar lagi. Para penguasa di negeri-negeri ini sudah kadung nyaman puluhan tahun menikmati kekuasaan. Mereka bahkan lebih setia terhadap Amerika ketimbang kepada kepentingan rakyat dan saudara-saudara sebangsa mereka sendiri di Palestina. Dan ini dipahami dan dimainkan betul oleh Amerika dan sekutunya.

Maka kalau mau ada perubahan yang sangat fundamental bagi penyelesaian konflik Arab-Israel, demokrasi adalah jawabannya. Jika tidak; jika tidak ada perubahan mendasar apapun di konstelasi politik timur tengah dan sementara tata dunia masih dikuasai Amerika dan sekutunya, sampai kapanpun, Palestina terus akan jadi korban keganasan Israel.

Written by Dedy W Sanusi

31/12/2008 at 19:13

Ditulis dalam internasional, politik

Postur Konflik Arab-Israel

leave a comment »

Postur konflik Arab Israel sebenarnya terang benderang.

Orang-orang Yahudi diaspora dari berbagai belahan dunia, dibantu oleh Inggris dan (sekarang) Amerika menduduki tanah Palestina. Orang palestina (dibantu) saudara-saudara Arab mereka, melawan. Tapi kalah.

Orang-orang  Yahudi mau membangun negara agama di tanah yang diduduki ini. Mereka hendak mengusir dengan kekuatan senjata semua orang Palestina dari tanah moyang mereka. Orang-orang Yahudi hendak membangun negara agama yang dipagari militerisme.

Ini prinsip Israel.

Dalam sejarahnya, segala upaya penyelesaian konflik selalu mengalami jalan buntu.

Solusi satu negara sekuler dimana orang-orang Israel dan Palestina hidup bersama dalam satu negara sekuler yang kekuasaannya diperebutkan secara demokratis, gugur bahkan dari sekedar di pikiran sekalipun buat orang-orang Yahudi-Zionis.

Solusi dua negara yang hidup damai berdampingan pun tidak diterima Israel. Meskipun 35-an negara Arab sudah membuka pintu untuk normalisasi hubungan dengan Israel. Tapi Israel memang tidak hendak memberi hak hidup bagi Palestina.

Maka tidak ada pintu damai sebenarnya, karena Israel (didukung Amerika) akan selalu mencari cara bagi menjaga prinsip bahwa tanah Palestina adalah untuk bangsa Israel dengan negara zionisnya.

Inilah masalahnya.

Negara-negara arab tidak cukup berani untuk frontal berhadapan secara jantan di medan tempur. Sementara Palestina sendiri tidak punya kekuatan militer memadai untuk melawan Israel.

Maka hanya karena cinta negara, membela tanah tumpah darah, keyakinan bahwa kezaliman tidak terus menerus segar bugar, semangat juang yang tidak pernah padam dan kesiapan untuk mati syahid membela negara kapan saja lah yang membuat saudara-saudara kita, saudara kemanusiaan kita dalam lingkar yang lebih luas, bangsa Palestina, bertahan di sana. Meskipun bedil, rudal dan pesawat tempur Israel bisa menyalak kapan saja. Meminta lebih banyak lagi darah dan air mata.

Written by Dedy W Sanusi

28/12/2008 at 21:16

Ditulis dalam agama, internasional, politik